(8) AJAKAN MELALUI SENTUHAN - April 2007

AJAKAN MELALUI SENTUHAN
April 2007
Pada waktu itu malam sudah larut. Jarum pendek jam dinding sudah menunjukkan angka 11. Aku masih duduk di meja belajar kamar kos, karena malam itu aku harus mengerjakan salah satu laporan praktikum yang harus ditulis manual dengan tangan. Walaupun aku sudah mulai mengerjakannya dari habis magrib, namun rupa- rupanya belum juga menunjukkan tanda- tanda akan selesai. Rasa penat sudah mulai menjalar ke kedua lenganku, sehingga akupun memutuskan untuk istirahat sejenak. Aku berdiri dan berjalan keluar kamar untuk sekedar menghirup udara malam dan bercanda dengan anggunnya bulan purnama.
“mau kemana Den?”, aku bertanya pada Deni, teman sekamarku yang melintas di depanku.
“ke kamar sebelah, main gaple sama anak- anak”, jawabnya
“itu telingamu kenapa?”, aku melihat telinganya yang berhiaskan jepit jemuran
“haha, yang kalah gaple telinganya dijepit pake ini”, jawabnya seraya menunjukkan salah satu koleksi jepit jemuran yang menghiasi daun telinganya
Deni, teman sekamarku yang kuliah di jurusan FIS, Fakultas Ilmu Santai.Kenapa santai?Ya karena tidak pernah ada tugas yang aneh- aneh.Tidak seperti jurusanku yang selalu banyak tugas. Belum selesai satu tugas, sudah diberi tugas yang lain. Baru saja mengumpulkan satu tugas, muncul dua tiga tugas lainnya. Haduuh sudah seperti pahlawan kemerdekaan aja nih tugas, tumbang satu tumbuh seribu. Hal ini sangat terlihat pada keseharian kami, seperti padamalam ini. Walaupun kami sama- sama begadang, namun aku begadang mengerjakan tugas sementara ia begadang main gaple sambil ketawa- ketawa dengan anak kos yang lain.
“aah, enaknya kuliah di jurusan dia”, batinku
“tugasmu belum selesai bro?”
“belum, baru sampai BAB IV”, jawabku lemas
“semangat- semangat, hahahaha”, katanya berkelakar
“yuhuuu, pastinya. Ada janji yang harus kupenuhi, ada perkataan yang harus kubuktikan”, jawabku mantab
Sambil ngobrol santai dengan Deni, ujung mataku menangkap sesuatu yang aneh di rumah seberang. Aku memang sedang berada di lantai dua, dan oleh karena itu aku bisa melihat kamar atas kos- kosan di seberang jalan.
“Den, coba deh lihat itu”, kataku sambil menunjuk ke salah satu kamar di kos seberang
“apa?”, Deni mencari- cari ke arah yang aku tunjuk
“itu lo, putih- putih di tengah kamar itu”, aq sambil merangkul putidaknya dan menunjuk- nunjuk ke kamar yang ku maksud
“ooh mungkin cuman mukena”, jawabnya santai
“yaa tidak mungkin lah mukena, itu kan kos cowo? Masa ada cowo makai mukena Den?”, jawabku
“ah lu jangan bikin aku merinding”, si Deni berusaha melepas rangkulanku
“eh enggak, coba deh di logika. Kalaupun itu mukena, masa iya bisa berdiri tegak di tengah ruangan kaya gitu?”, aku masih berusaha meyakinkan Deni
“aaah sebodoh laah, aku lanjut main aja dari pada ketakutan”, jawabnya sambil ngelonyor pergi
Aku kemudian berdiri mematung sendiri. Aku masih memperhatikan benda berwujud putih, sebesar ukuran manusia dewasa yang berdiri tegak di tengah kamar di kos- kosan seberang jalan.Semakin lama aku perhatikan, bulu kudukku semakin meremang.Bagaimana tidak?Wujud itu tetap diam tak bergerak sedikitpun.Kira- kira apakah itu?Entahlah aku pun tak bisa menemukan jawabannya, hingga tiba- tiba wujud tersebut perlahan mulai bergerak.
Dia bergeser, berbalik badan sehingga kini terlihatlah bagian yang sedari tadi tertutup jika dilihat dari sudut pandanganku.Dan apakah yang nampak setelah dia berbalik?Muka hitam dengan mata merah yang melotot.Mukanya benar- benar hitam seperti dioles pakai arang kayu.Di kegelapan malam, wajahnya yang hitam masih terlihat karena memang lebih hitam dari kegelapan.Matanya merah melotot sebesar buah salak, benar- benar kontras dengan mukanya yang hitam.Benar- benar menambah kesan sangar wajahnya.Ada lagi yang aneh, kain putih yang dia kenakan benar- benar masih putih, seolah- olah kain kafan itu baru saja dipakainya.Dari kejauhan nampak terdapat empat ikatan di tubuhnya, yaitu di kaki, badan, leher, dan kepala.
“astaga, pocong”, batinku
“Lalu kalau memang benar itu adalah pocong, bagaimana mungkin Deni bisa melihatnya dengan jelas? Apa karena aku merangkulnya saat melihat sosok tersebut?”, batinku
Jika di ingat- ingat lagi, maka ini kejadian kedua aku bersama Deni melihat hal ganjil. Aku jadi teringat kejadian malam itu, ketika aku dan Deni akan ke Surabaya untuk membayar biaya UKT sekaligus daftar ulang. Waktu itu masih sangat pagi. Jam masih menunjukkan pukul 3.30 pagi ketika aku dan Deni berkendara berdua melewati jalan di daerah kantong. Daerah kantong biasa disebut juga dengan bendungan lahar karena memang fungsinya sebagai bendungan penampung lahar dingin maupun lahar panas yang dimuntahkan gunung kelud. Bendungan lahar itu sendiri dibuat di daerah miring yang kemudian didirikan tembok dari tanah liat yang tingginya mencapai empat meter. Apabila ada lahar dingin maupun lahar panas yang mengalir dari arah timur ke barat, maka lahar akan tertahan di bendungan tersebut sehingga wilayah di bawah bendungan aman dari terjangan lahar. Lahar yang sudah tertampung lama kelamaan akan menjadi dingin dan menyisakan pasir dan batu yang biasa dimanfaatkan warga sekitar sebagai material bahan bangunan. Bendungan lahar sendiri karena dibangun dari tanah, maka banyak ditumbuhi pohon- pohon liar, ilalang, deretan pohon bambu yang berbaris rapat sepanjang bibir bendungan. Saking rapatnya barisan bambu tersebut, maka walaupun hari sudah siang maka daerah di bawah bendungan masih saja terasa gelap. Cahaya matahari yang tertutup oleh rapatnya pohon bambu menyisakan daerah remang- remang yang menjadi persembunyian mahkluk halus.
Pada malam kejadian, aku dan Deni sedang berkendara dari arah utara ke selatan di baguian barat bendungan/ bagian bawah bendungan. Sebelumnya kami berjalan dari arah barat, kemudian berbelok ke kanan memasuki daerah bawah bendungan. Ketika baru saja memasuki area bendungan, tidak ada tanda- tanda akan terjadi keanehan apapun. Kamipun terus melintas dengan tenang, karena pagi masih sangat buta, tak pelak hawa dinginpun terasa menggigit hingga ke tulang. Kami berdua diam saja, hingga dari arah selatan terlihat sorot lampu yang sangat terang. Posisi kami sendiri sedang berjalan dari utara ke selatan, sementara lampu berjalan dari selatan ke utara. Bisa ditebak apa yang terjadi, yaa saling kami berpapasan. Setelah berpapasan dengan cahaya terang tadi, aku mulai pembicaraan dengan Deni.
“lha iya lo, pagi- pagi buta mau kemana yaa orang tadi?”, aku mulai berbicara
“orang yang mana bro?”, Deni menjawab
“tadi loo Den, yang berpapasan sama kita”
“mana ada orang lewat sih wira? Bukankah dari tadi kita tidak ketemu sapa- sapa?”
“tadi loo Den? Cahaya terang yang barusan lewat?”, aku berusaha ngeyel
“ah lu jangan nakut- nakutin lah. Orang tidak ada yang lewat kok dari tadi juga. Kita cuman sendirian aja gitu lo?”
“yealaah dibilangin tidak percaya”, jawabku
Akhirnya kami berdua terdiam karena tidak menemui kata sepakat. Dalam diamku kemudian aku berfikir.
“bukankah sewaktu tadi berpapasan dengan cahaya terang itu, aku tidak mendengar suara mesin motor sama sekali ya? Tidak mungkin cahaya seterang itu berasal dari sepeda pancal. Minimal pasti dari sepeda motor. Tapi kenapa sunyi sekali tak terdengan suara deru mesin?”, aku mulai bergidik sendiri membayangkan apa yang baru saja aku lihat.