(18) S.A.N.T.E.T Part 3 Ending - Mei 2008

S.A.N.T.E.T
Mei 2008
part 3 - ENDING
Sedang asik merenung, tiba- tiba aku melihat kilatan cahaya terbang dari luar kamar, dan masuk melalui lubang ventilasi kamar. Dan dengan cepat, whuuzz whuuzzz entah empat atau lima pisau melayang menerjang tubuhku. Aku kaget, shock sampai aku terjatuh kebelakang. Semua terjadi dengan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik. Sangat cepat bahkan sampai aku tak sempat membaca apa- apa, fikiranku membeku melihat kejadian yang baru saja ku alami. Tiba- tiba keringat dingin keluar membasahi keningku. Apa yang terjadi? Apa yang harus aku lakukan? Aku baru pertama kali melihat yang seperti ini. Sekaligus juga baru pertama kali mengalami yang seperti ini. Oh Tuhan. Aku meraba dadaku, bagian kiri dan kanan. Tak nampak satu lubangpun di kaos yang ku kenakan. Aku buka kaosku, lalu kulihat lagi dadaku baik- baik. Tak ada darah yang menetes, tak ada juga tanda- tanda nyeri bekas sayatan pisau. Jantungku berdegup kencang, keringatku keluar semakin banyak. Fikiranku meremang, mengingat semua cerita buruk yang pernah ku baca dan ku dengar tentang santet. Apakah ini yang dimanakan dengan santet?
Aku merenung sesaat, kemudian aku teringat dengan seorang teman sekelasku yang biasa ku panggil Tiyas. Segera kuraih HP ku dan ku telfon dia.
“halo, Tiyas ya? ini Wira”
“ya ada apa ya?” suara dari seberang telpon. 
“Tiyas, maaf nih mengganggu malam- malam. Sudah tidur kah?”
“belum. Ya kalau aku sudah tidur pastinya aku gak ngangkat telpon kamu”
“oh iya bener”
“ada apa Wira?”
“ini aku cuman mau tanya, dulu kan kamu bilang pernah di pelet cowo ya? nah yang mau aku tanyakan, bagaimana rasanya dipelet sama cowo? gejalanya, mungkin seperti sariawan tenggorokan kering bibir pecah- pecah atau susah buang air besar mungkin?”
“ha ha ya gak laah”
“lalu kayak apa gejalanya dulu Tiyas?”
“emm sebentar yaa ku inget- inget dulu. Kalau kata Boni sih dulu aku kena pelet ya, pelet nya itu sudah sampai di ajna. Maka nya aku jadi sering pusing, terus gak sadar. Inget sama si cowok itu terus”
“oo ya ya. Lalu- lalu?”
“ya gak lalu- lalu Wira. Ya di obatin sama Boni”
“Boni bisa ngobatin ya?”
“Ya alhamdulillah sih bisa. Kenapa wira? kamu di pelet?”
“ya pastinya enggak lah Tiyas. Jadi gini, aku barusan melihat pisau terbang menuju ke arahku, lalu dengan cepat menembus badanku. Aku kok kuatir kalau aku kena santet”
“ooh santet ya? oke tunggu sebentar ya aku telpon Boni dulu. Kaya nya tadi dia belum tidur kok”
“oke ku tunggu”, klik telpon kemudian mati
Aku kemudian menunggu sementara Tiyas menghubungi Boni, cowo nya. Tiyas ini adalah salah satu bunga kelas. Seorang wanita dengan tinggi 160 cm dan berat badan 60 Kg. Kulitnya kuning langsat khas gadis- gadis indonesia, dengan senyum indah dan lesung pipi yang menambah kecantikannya. Tak hanya menarik di luar, dia pun cantik di dalam. Tiyas baik, dan perduli dengan sesama teman. Maka dari itu tak heran jika banyak laki- laki kemudian naksir padanya.
“Hemmb, jika benar ini santet, maka artinya ada orang yang berusaha menyakitiku, atau membunuhku. Tapi siapa ya? dan apa salahku padanya kok sampai dia ingin menyakitiku?” aku berfikir sambil menunggu kabar selanjutnya dari Tiyas.
Brrttt Brrrttt, HP ku bergetar. Ada telpon masuk
“ya halo Tiyas?”
“Wira, kata Boni sih iya kamu disantet. Yang digunakan untuk menyerang ada empat pisau, langsung mengarah ke jantung kamu. Sepertinya si penyerang bermaksud membunuh kamu”
“hah, serius Tiyas?”
“iya. Tapi gak papa, kata Boni pisaunya udah dicabut kok”
“oh makasih banyak karena sudah mencabut pisaunya Tiyas”, aku bersyukur setidaknya sudah tidak ada benda asing di dalam tubuhku
“yang nyabut bukan Boni. Kata Boni dia gak tau sapa yang nyabut ya, tapi pisaunya sudah gak ada di dalam badan kamu. Tinggal kotoran sisa- sisa serangan aja yang tertinggal di jantung kamu. Kata Boni nanti dia bantu bersihin”
“oh begitu ya, terimakasih ya Tiyas?”
“iya Wira. Besok aku kasih tau perkembangannya ya”
“oh oke- oke. Sekali lagi terimakasih ya?”
“iya”. klik. dan telpon pun dimatikan
“aah, heemb”, aku hanya bisa menghela nafas panjang. Tak henti- hentinya aku mengucap istighfar atas cobaan malam ini. Dan tak henti- hentinya aku mengucap syukur karena ternyata Allah masih mengizinkanku untuk hidup lebih lama. Aku bersyukur karena ada seseorang yang entah siapa, dengan cepat dan tanpa ku minta mencabut pisau yang mengenaiku. Dan aku bersyukur memiliki teman seperti Tiyas yang mau menolongku, padahal sudah larut malam, dan dia pun tidak memiliki keharusan untuk menolongku. Aku bersyukur masih ada Boni yang bersedia membantuku membersihkan sisa- sisa serangan yang masih berada di tubuhku. Aku bersyukur, “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Malam itu aku tidur, yang bisa dibilang “cukup nyenyak” untuk ukuran orang yang habis kena santet. Pagi haripun aku bangun dalam kondisi segar dan aku siap untuk berangkat ke kampus.
“hai Citra, siap untuk pra test?”, tanyaku pada Citra yang pagi itu bertemu denganku
“gak siap, materinya banyaaaak”, jawabnya masih sibuk membaca diktat kuliah
“ada yang sulit?”, tanyaku kemudian
“ini nih, siklus tumbuhan paku"
“yang ini ya, di awali dengan spora- kemudian tumbuh menghasilkan protalium jantan & betina- setelah ada pertemuan antara sel sperma dan sel ovum kemudian menjadi zigot- zigot tumbuh dewasa menjadi tumbuhan paku- tumbuhan paku menghasilkan sporogonium- kemudian sporangium- kemudian spora, itu ya?”
“iya. Kenapa susah sekali dihafalkan ya?”
“iya. haha susah karena banyak istilah yang asing ditelinga kita”
“yasudah aku ke kelas dulu ya?”
“oke deh. Selamat belajar”
“yup”
hemmb, memang banyak sekali materi yang harus dihafalkan. Istilah- istilah asing yang susah untuk di ingat, nama- nama ilmiah yang antara tulisan dan ejaanya berbeda. Belum lagi siklus- siklus yang gak boleh tertukar urutannya karena sebuah siklus memang sudah seharusnya jika berurutan sesuai dengan kejadiannya. Aah rasa- rasanya ingin ku upgrade kapasitas memori otak ku supaya semua materi- materi tersebut tidak ada yang terlupa. Saking banyaknya materi yang harus kuhafalkan pagi ini sampai- sampai membuatku lupa akan peristiwa santet semalam, hingga kemudian Tiyas datang menyapaku.
“hai wira”
“halo Tiyas”
“bagaimana tadi malam?”
“alhamdulillah tidak terjadi sesuatu lagi yang lebih mengerikan”
“syukurlah. Kata Boni memang santetnya sudah masuk ke badan kamu, yang pisau ada empat itu lho. Pisaunya memang langsung menuju ke jantung kamu sebagai sasaran targetnya karena memang si pengirim berniat membunuh kamu. Nah saat pisaunya sudah dekat dengan jantung kamu tiba- tiba ada yang nyabut pisaunya”
“oo begitu ya? Boni sudah tau siapa yang nyabut?”
“katanya sih mungkin guru kamu, mungkin lo ya?”
“emm ya ya bisa jadi sih”
“nah sekarang yang ada di badan kamu itu tinggal sisa- sisanya saja, kotoran yang terbawa bersama pisaunya”
“oo ya ya. Lalu sisa- sisanya ini bagaimana cara membersihkannya?”
“kata Boni nanti dibantu dari jauh. Kata lo aslinya kamu sendiri sudah bisa membersihkan itu?”
“masa sih?”
“iya. Kata Boni kamu aslinya sudah mampu membersihkannya”
“caranya bagaimana?”
“entah. Dia gak kasih tau caranya. Dia cuman bilang gitu aja”
“ooo.. ya ya. Apa Boni bilang yang ngirim siapa?”
“emm bilang sih. Katanya orang deket kok yang ngirim. Tapi biarlah yang penting kamu sehat, aman, maka ya cukup untuk saat ini”
“iya sih, tapi aku penasaran saja siapa yang tega melakukannya? Aku memang dapat gambaransiapa yang mengirim, tapi aku ingin crosscheck kan dulu karena kuatirnya aku salah orang”
“memang yang kamu tau siapa yang mengirimnya?”
“si ini sih, sebut saja : Bunga”
“oh, ha ha”
“bener ya?”
“yaa begitulah”
“tapi kenapa dia menyerangku? bukannya aku gak ada masalah sama dia?”
“yah kata Boni, Bunga ini mendapat cerita tentang kamu, dan ceritanya itu jelek- jelek. Nah saat si Bunga ini akhirnya bertemu kamu dia merasa oh memang iya, memang bener kamu bukan anak yang baik. Maka dari itu dia sakit hati lalu menyerang kamu”
“jadi masalahnya ada yang menghasut ya?”
“iya”
“ya yaa, aku bisa memahami. Btw cowo kamu sudah lama Tiyas belajar beginian?”
“yaa lumayan lah. hemmb oke deh nanti disambung lagi ya? aku mau masuk kelas dulu”
“oke Tiyas, terimakasih banyakya?”
“iya sama- sama”
“masa sih aku bisa membersihkan sendiri? lalu bagaimana caranya? aku masih bingung. Belum lagi misteri siapa yang mencabut santet yang dikirim? Kemudian kenapa Bunga menyerangku? apa salahku dengannya? Ah entahlah. Semua ini sangat membingungkan buatku”
Hari itu berjalan sangat cepat, hingga sekarang sudah magrib. Aku duduk bersila setelah sholat magrib. Aku ambil sebotol air yang sudah ku persiapkan sejak sebelum sholat tadi, kemudian ku bacakan doa. Segala doa yang ku bisa, mulai doa belajar, doa sebelum makan, doa mau tidur, ayau kursi, dan doa- doa lain yang aku hafal. Setelah itu kubacakan beberapa kalimat dzikir yang biasanya aku baca tiap selesai sholat. Aku memang tidak tau apa yang harus ku lakukan, dan aku juga tidak tau apakah ini akan berhasil. Aku hanya mencoba dan mencoba, berdoa dan berharap pada Allah semoga apa yang aku lakukan ini akan membuahkan hasil. Kurasakan tanganku bergetar hebat saat memegang botol yang terisi penuh dengan air putih ini.
Setelah kurang lebih satu jam berdoa, air ini kemudian aku minum. Aaah, terasa dingin dan segar sekali saat air putih ini membasahi tenggorokanku yang kering setelah satu jam bersusah payah membaca doa- doa. Tak terasa keringatpun menetes dari keningku, dan badanku terasa sangat gerah.
“Apakah ini tanda bahwa kotoran- kotoran yang masuk ke dalam tubuhku sudah keluar?”, aku bertanya- tanya dalam hati
“lalu apa yang akan terjadi selanjutya?”, aku masih menunggu- nunggu. Akankah aku menggeram dan mengamuk kehilangan kesadaran seperti layaknya orang kesurupan? atau aku akan muntah- muntah seperti orang yang di ruqyah? atau aku akan pingsan seketika karena terlalu lemas? atau aku akan histeris seperti adegan- adegan yang di film- film?
Aku masih menunggu. 5 menit berlalu, 10 menit, 15 menit telah terlewati. Yang kurasakan badanku semakin panas. Keringat sudah tidak lagi bisa dibilang menetes, akan lebih tepat jika dibilang mengucur deras. Baju gamis yang ku kenakan mulai basah oleh peluh. Ya, seluruh badanku terasa sangat panas. Sangat amat panas sampai keringat keluar dari kening, leher, punggung, dan dadaku. Luar biasa panasnya, mungkin sampai 38 atau 39 derajad selsius. Kamar yang kupakai sholat inipun atmosfernya terasa sangat berbeda. Sangat panas, pengap, dan berat. Aku menelan ludah, kemudian ku seka keringat yang menetes- netes melewati mata dan hidungku, yang membuat mukaku basah seperti orang sehabis cuci muka. Jantungku berdegup kencang, hingga dalam heningnya suasana itu aku seolah- olah bisa mendengar detak jantungku sendiri. Aku mulaia merasakan takut, dan gelisah. Badanku terasa sangat tidak nyaman. Aku mulai menyusuri sekitar, melihat dinding- dingding kamar. Waspada, siapa tau akan ada sesuatu yang melompat keluar dari dinding kemudian menerkamku karena santet yang dikirim ternyata gagal membunuhku. Aku melihat ke kiri, ke kanan, dan kebelakang. Dan akhirnya aku menyadari sesuatu yang berada di belakangku.
“pantas saja badanku kerasa panas luar biasa, karena kipas anginnya belum ku nyalakan. Lagipula pintu kamar ku tutup, pantas terasa sangat pengap karena kamar ini tidak memiliki jendela satupun”. Aku beranjak menyalakan kipas angin, kemudian menuju kasur dan bersiap tidur. Beristirahat, agar besok siap melahap semua materi yang di umpankan oleh para dosen. Yah inilah surabaya, kota metropolitan dengan tingkat polusi CO2 yang tinggi sehingga pantaslah jika cuacanya sangat panas.