(16) S.A.N.T.E.T Part 1- Mei 2008

S.A.N.T.E.T
Mei 2008
part 1
Disinilah aku sekarang. Sebuah rumah yang bisa dibilang cukup besar untuk ukuran rumah- rumah di Surabaya. Sebuah rumah bergaya lama yang terletak di kawasan Kodam inilah yang sekarang menjadi tempatku berteduh dari teriknya matahari serta curahan air hujan. Sebuah rumah yang tak cukup terawat, terlihat dari cat dindingnya yang mulai nampak menguning di sana- sini. Tak jarang terlihat bagian tembok yang mengelupas disengat oleh panasnya siang dan dicekam oleh dinginnya malam. Sebuah pagar besi tua bercat kusam setinggi bahu orang dewasa, yang menjadi pembatas antara halaman depan rumah dengan jalan raya pun mulai nampak berkarat menimbulkan warna merah- merah khas karat di tengah- tengah pagar besi yang berbalut cat berwarna hijau tua. 
Di bagian halaman depan berjajar beberapa pot besar berisi bunga liar yang tak terawat terlihat dari tanah pot yang telah lama tandus kehilangan nutrisi. Begitu kita memasuki bagian halaman, sebuah pintu kayu yang juga tak kalah usang sudah menyambut. Di dekat pintu terdapat kaca besar yang tertanam dalam dinding yang membuat bagian luar rumah dapat terlihat dari dalam rumah. Sebuah kaca besar yang menjadi bagian dari dinding ini menambah kesan tua pada rumah tersebut. Saat melihat ke atas, beberapa bagian plavon nampak menghitam dan jebol menandakan genting di atasnya telah bocor sehingga air hujan masuk ke dalam plavon dan membuat plavon berlumut, bahkan berlubang.
Saat mulai memasuki rumah, ruang tamu berukuran 5 x 12 meter tak banyak memiliki perabot beraroma unik. Meja kayu tua dan kursi sofa yang juga tak kalah tuanya dengan usia pemiliknya, seorang veteran perang era penjajahan yang ikut berjuang dan berperang di tahun 45 nampak di sudut ruangan. Lebih masuk ke dalam, terlihat empat kamar berukuran besar memiliki ranjang- ranjang besi tua yang berderit saat ada sosok yang menaikinya. Aroma rumah tua, yang dimiliki oleh veteran yang sangat tua inilah, yang kemudian salah satu kamar kosongnya ku tempati karena berbagai sebab. Sang veteran sendiri telah meninggal beberapa bulan yang lalu, menyisakan kenangan dan angan bagi keluarga yang ditinggalkan. Sang veteran sendiri meninggal dalam usia senja nya dalam damai, menyusul istri tercintanya yang telah terlebih dahulu meninggal digerogoti oleh penyakit. 
Layaknya seorang veteran yang memang terjun langsung dalam perang melawan penjajah, ia dilengkapi dengan sederet gaman/ senjata yang berisi “sesuatu” sebagai “piandel”, entah khodam kebal supaya selamat dari sasaran peluru musuh maupun kdodam perkuat badan supaya tidak gampang sakit saat terjun berperang di hutan. Yang jelas gaman- gaman tersebut sekarang menjadi tak bertuan sehingga memancarkan aura yang tak biasa, tak lazim, tak normal. Dan tak ayal, hal ini menambah kesan seram, angker, wingit dan energi- energi yang membuat bulu kuduk siapapun yang memasuki rumah ini meremang, bahkan saat siang hari sekalipun.
Di rumah inilah aku sekarang berada, meninggalkan kos lamaku di daerah ketintang serta enam hantu penunggu kos yang telah satu setengah tahun setia mengikutiku kemanapun aku melangkah. Tersebutlah kuntilanak yang telah menteror anak- anak kos hingga kos benar- benar kosong ditinggalkan penghuninya karena takut. Kemudian ada hantu kakek- kakek bungkuk yang menjadi pimpinan geng hantu enam, yang sekarang sudah tidak pernah menampakkan wujudnya lagi. Lalu ada hantu wanita hijau yang mukanya gosong setengah, dia juga sudah lama tidak menampakkan tanda- tanda keberadannya. Kemudian ada hantu anak kecil yang suka bermain di lemari pakaian. Sama seperti ketiga hantu sebelumnya, mereka juga sudah tidak pernah menunjukkan tanda- tanda eksistensinya. Entah apa karena aku pindah kos sementara mereka tidak ingin pindah rumah sehingga mereka tetap tinggal di kos lama, atau aku tak lagi semenarik dulu untuk diikuti oleh para hantu- hantu tersebut, atau alasan lain yang mungkin aku belum tau. Alasan hilangnya si enam memang menyisakan sejuta misteri dan tanda tanya di benakku. 
Hari- hari tenang dan damai ku lewati dengan penuh suka cita dan semangat baru mengejar impian. Impian lama yang sudah ku canangkan di awal ku masuk kuliah, yaitu aku akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Aku ingin lulus dengan istimewa, dengan pujian, atau istilah lain yang membuktikan kerja kerasku. Setelah aku lulus dengan predikat baik, aku berharap tidak kesulitan mencari perusahaan yang mau membayarku sehingga aku tidak berlama- lama menjadi pengangguran. Visi sudah ku tetapkan, misi sudah ku fikirkan, dan sekarang saatnya menyingsingkan lengan baju untuk merealisasikannya. Setiap hari ku bayangkan saat- saat aku lulus, aku memakai baju toga dan berdiri di depan podium menerima penghargaan dari dosen kampusku. Setiap malam ku impikan saat- saat aku bekerja, mendapat penghasilan sendiri, yang cukup banyak untuk kubawa pulang, dan menunjukkan bahwa aku bukan anak yang tidak berguna. Aku ingin menunjukkan pada ayahnya Putri, bahwa aku tak serendah yang ia fikirkan. Aku ingin menunjukkan pada ayahnya Putri bahwa ia telah salah menilaiku. Aku ingin menunjukkan pada Putri bahwa ia akan menyesal karena meninggalkanku. 
Di dalam kamar inilah aku menulis besar- besar apa yang menjadi targetku, kemudian ku tempel di dinding kamar supaya bisa ku lihat setiap saat. Tulisan- tulisan inilah yang juga menjadi pengingat bagiku, bahwa ada seseorang yang menagih keberhasilanku. Tulisan- tulisan ini menjadi cambuk bagiku saat ku mulai bermalas- malasan. Menjadi pagar yang membatasiku dari kesenangan- kesenangan dan segala huforia dan hingar- bingar kehidupan kota. Menjadi penyemangatku, saat aku jatuh tersungkur sakit karena terlalu lelah. Menjadi obat kerinduanku padanya yang telah pergi, yang di saat terakhirnya ia mengatakan bahwa ia menunggu kepulanganku. Tentu pulang dalam kesuksesan, bukan pulang karena kegagalan. Aku berlari memang bukan karena ingin unggul di depan, namun lebih karena aku tak ingin tertinggal. Aku ingin sukses bukan semata- semata karena aku ingin lebih menang, namun lebih pada aku tak ingin gagal, kalah, dan direndahkan.
“wah, banyak juga ya yang kamu targetkan?”, kata citra melihat kamarku
“pastinya, aku punya tujuan yang ingin ku buktikan”, jawabku
“kamu melakukan itu untuk apa?”
“untuk mereka semua, yang ku sayangi. Termasuk untuk kedua orang tuaku”
“oo ya?”
“pastinya”
“hebat, pasti beruntung yang jadi istrimu kelak”
“belum tentu, masih ada kok yang gak mau jadi istriku”
“o ya? siapa?”
“banyak, haha”
“BTW besok kita ada praktikum, pastinya ada pre test dan post test”
“yup, seperti biasanya”
“sebenernya aku merasa berat kalau tiap hari ada ujian seperti ini”
“sama, aku juga. Seringkali aku juga gak paham dengan materinya”
“tapi nilaimu sering bagus gitu lo?”
“yah berarti itu pas materi yang aku paham. Kalau gak paham ya, aku isi sebisaku yang jelas jangan sampai kosong gitu aja”
“iya, kok ada ya yang betah tiap dari menguji? apa gak capek ngoreksinya?”
“entah. tapi buktinya dia tetap kasih kita ujian tiap ada mata kuliahnya. Mungkin dia benar- benar memaksimalkan kerja paksa para co ass untuk mengkoreksi ujian- ujian kita”
“he he, kasian ya nasib co ass nya?”
“iya”
“yasudah, aku mau tidur dulu ya?”
“mau balik ke kamar?”
“iya lah, masa iya mau tidur disini?”
“ya siapa tau, hehe”
“hemmb ngarep”
“ya boleh lah ngarep dikit, ha ha”
“tar kalau aku disini yang ada malah gak tidur”
“mang mau ngapain kalau gak tidur?”
“huu kura- kura dalam perahu”
“ha ha ha”
“kalau aku hamil, gimana?”
“ya nikah, ha ha”
“emang semudah itu? apa kamu sudah siap membiayai aku?”
“ha ha, ya pastinya gak siap lah. Yasudah yuk tidur, besok jadwal kita pagi”
“oke, sampai jumpa besok ya?”
“yup”
Citra meninggalkanku sendiri. Ku tutup tirai kamarku, dan aku mulai menggelar kasur lipatku di lantai. Aku lebih suka tidur di lantai beralaskan kasur lipat, karena katanya lebih aman dan terhindar dari serangan hantu.