(15) BELING DALAM DAGING - Suatu hari di tahun 2008

Beling Dalam Daging
suatu hari di tahun 2008
Pagi itu aku cepat- cepat naik ke lantai dua gedung C F.MIPA. Sambil setengah berlari, kutapaki satu persatu anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua tersebut.
“hai Roi”, sapaku pada sahabatku yang pagi itu terlihat lemas
“napa? tumben loyo?”, tanyaku
“iya lagi tidak enak badan nih bro”, jawabnya
“nanti aku pijat mau?”, aku menawarkan bantuan
“mau laah, hahaha”, Roi terlihat senang
“oke nanti habis kuliah ya, di BEM”, jawabku
“sip, thanks yaa”
Kuliah berlangsung tegang seperti biasanya, karena pagi itu dosen yang mengajar benar- benar killer. Terlihat menguap sedikit maka langsung disuruh keluar. Terlihat bercanda sedikit maka langsung disuruh keluar. Terlihat senyum sedikit maka langsung disuruh keluar. Terlihat ngelirik teman di kanan/kiri maka akan langsung disuruh keluar. Masang wajah serius dengan mata melotot kedepan pun bernasib sama, disuruh keluar kalau tertangkap basah sedang melamun. Ah, benar- benar dosen yang tanpa ampun. Sembilan puluh menit kuliah bersama dosen ini sukses membuat mahasiswanya terkena serangan jantung karena terus- terusan merasa cemas. Belum lagi ancaman tidak lulus atau bayang- bayang akan dapat nilai C yang akan selalu menghiasi transkrip nilai kami seumur hidup.Tak ayal setiap mengikuti kuliah dosen ini, keringat dinginpun selalu mengucur deras sehingga sukses membuat baju yang ku kenakan basah kuyup.Pak Gatot trigger ekspresi gen dalam lingkaran setan, begitulah teman- teman memanggilnya. Mengikuti perkuliahan selama sembilan puluh menit dengan orang ini rasa- rasanya lebih berat dan sangat jauh lebih lama dibandingkan harus menemani pacar jalan- jalan seharian, walaupun selama di kelas kita cuman duduk saja.
“Teeet Teeeeet, Teeeet Teeeeeet”
Bel yang menatidakan pergantian jam kuliah telah berbunyi. Artinya, Sembilan puluh menit telah berlalu. Entah kenapa, walaupun hanya suara bel yang tak lebih berbunyi teeet sekalipun, terdengar lebih indah dari pada suaranya BCL yang sedang menyanyi. Setelah sang dosen keluar kelas, anak- anak di dalam kelas langsung berhamburan keluar. Aku masih duduk tenang di kursi sambil bernafas lega. 
“aku masih punya janji untuk memijat Roy di BEM”, batinku
Walaupun di tahun tersebut sudah jarang ada teman yang bersedia dengan sukarela memijat teman yang lain, yang entah karena tidak mau atau tidak mampu, entah karena jijik jika harus menyentuh kaki pasien yang akan dipijatnya, entah karena malas atau malu, selalu saja alasan bagi mereka untuk menolak pekerjaan yang dibilang kuno itu, aku tetap mau melakukannya untuk teman- teman yang membutuhkan.
“Aku disini sendirian, tanpa saudara tanpa family. Kalau aku tidak mencari teman sebanyak- banyaknya, bagaimana jika suatu ketika aku sakit dan membutuhkan bantuan? Setidaknya dengan membantu orang, ketika suatu saat nanti aku gentian minta tolong maka mereka akan dengan senang hati membantuku”, begitulah pola pikir sederhana yang ku terapkan saat itu. Walaupun pada kenyataannya, pada saat aku benar- benar membutuhkan bantuan, tidak sedikit teman yang kemudian menolak untuk membantu. Bahkan seorang teman yang dari semester satu sudah ku bantu dengan tulus, pada akhirnya malah menusukku dari belakang. Itulah septian, yang meninggal di chapter sebelumnya. Tapi biarlah, kenyataan itu tidak lantas membuatku enggan menolong orang yang membutuhkan.
“Roi, ayo kita mulai”, kataku sambil menyuruh Roi untuk tengkurap di depanku
Aku mulai dengan berdoa, memohon bantuan kepada Tuhan, semoga dengan pijatanku menjadi perantara bagi kesembuhan sakitnya. Kemudian, aku mulai melepaskan sejumlah kecil energy, persis seperti aku mengeluarkan sonar untuk melihat pembuluh darah mana yang tersumbat. Selain untuk melihat pembuluh darah yang tersumbat juga bisa untuk melihat energi- energi negatif lain yang mengganggu dalam tubuh. Setelah sepuluh menit mencari yang bermasalah, aku mulai memijat. Punggung kiri, kanan, tengah, pinggul, leher, semua rata kena pijat. Hingga tiba- tiba aku merasa ada sesuatu yang aneh di bahu kanan.
“Roi, aku tidak paham ya ini apa, tapi sepertinya ada yang tidak beres dengan bahu kananmu”, kataku
“wah, aku yo tidak paham. Apa mungkin kecapekan badminton ya?”, Roi memang seorang olahragawan yang rutin badminton
“hemmb, baru ini aku melihat yang seperti ini”, kataku kemudian
“ya sudah bro tidak apa- apa, sudah dipijitin saja aku sudah senang”
“punggungku udah enakan”, kata Roi
“oke deh, senang bisa membantu”, kataku
Hari terus berlalu, hingga kemudian keesokan harinya aku bertemu Roi lagi, di tangga menuju lantai dua ditempat yang sama dengan kemarin.
“eh bro tau tidak, ada beling di bahu kananku”, kata Roi
“hah? beling? di dalem lengan?”, tanyaku kaget
“iya, di dalem”
“kok bisa?”, tanyaku lagi
“jadi gini ceritanya”, kata Roi
“kemarin setelah pulang dari kampus, aku menyewa jasa pijat. Tukang pijatnya cantik, masih muda lagi. haha. Namanya mbak intan”
“lanjut, aku kan buka kaosku, terus tengkurap di ruang tamu. Kemudian mbak intan mulai memijat. Lagi enak- enaknya mijat, dia njerit”
“aaaw”, gitu
“kamu apain Roi?”, tanyaku
“tidak aku apa- apain lah, hahaha”, jawab Roi
“kemudian aku disuruh berdiri sama mbak intan, ya aku berdiri lah. Kaosku terus di angkat, dan tiba- tiba “cliing”, ada sesuatu yang jatuh”
“apa Roi yang jatuh? Duit?”, tanyaku
“bukaaan gebleeek, hahaha. Yang jatuh itu beling. tipis sih, dan kecil. Tapi tajam banget. kata mbak intan, jarinya terkena beling itu pas memijat bahuku. Makanya dia njerit”, jawab Roi.
“mbak intan itu walaupun tukang pijat, setengah dukun juga dia. Dia ngerti hal- hal ghoib gitu- gitu bro”, kata Roi
“ooo ya yaa. Si mbak intan cerita tidak itu beling dari mana?”, tanyaku lagi
“enggak bro. Cuman belingnya dibuang sama dia. Aneh ya? percaya tidak percaya, lantai sudah ku sapu bersih, kaos yang kupai juga bersih, pas kaos aku angkat kok bisa ada beling jatuh”, kata Roi
“yaa aku percaya saja bro, memang ghoib itu susah dinalar”, jawabku 
“yuk masuk, lanjut nanti lagi”, ajak ku karena sudah mepet jam kuliah